Wednesday, October 26, 2011

Sepak Bola dan Gerakan Separatis


Kisah Barcelona, yang menjadi senjata tiga juta penduduk Catalunya untuk menentang pemerintah Spanyol tentu bukan barang baru. Slogan “Catalonia is not Spain” melekat pada klub yang berdiri sejak 1899 ini.
            Barcelonistas kerap melantunkan nyanyian dengan bahasa Catalan. Isinya sudah tentu mencaci keganasan Kerajaan Spanyol di masa lampau. Bak sekelompok paduan suara, mereka rutin menyanyikannya di stadion Camp Nou .
            Tak terkecuali para pemain. Punggawa Barcelona di timnas Spanyol kerap mengidentifikasi diri sebagai Anti-Spanyol. Kejadian yang terjadi usai La Furia Roja memastikan diri sebagai juara dunia bisa jadi contoh. Kala itu, Xavi Hernandez dan Carles Puyol melakukan selebrasi juara dengan bendera Catalan.
            Gerakan separatis lewat medium sepak bola juga terjadi di tanah air. Meski tak seekstrem orang Catalunya, warga Papua kerap kali menggunakan Persipura sebagai kampanye memerdekakan Papua. Atribut separatis ala Organisasi Papua Merdeka (OPM) dikenakan saat tim “Mutiara Hitam” bertanding.
            Contohnya, pertandingan Persipura kontra Persik Kediri yang dilangsungkan di Stadion Manahan pada Januari  2008. Simpatisan Organisasi Papua Merdeka (OPM) memamerkan tas dan mengibarkan bendera Bintang Kejora saat Persipura mencetak gol.
Nasionalisme Pemain Papua
            Kasus mangkirnya pemain Papua sering terjadi di tim nasional. Nama-nama beken seperti Oktovianus Maniani, Titus Bonai, dan Boaz Salossa pernah mengalami pengalaman tak menyenangkan, yakni dicoret dari daftar pemain timnas.
            Nasionalisme para pemain berdarah Papua pun kerap dipertanyakan publik. Lantas, apakah ada pengaruh gerakan separatis yang terjadi di Papua terhadap nasionalisme pemain-pemain Papua?
            Ambil contoh Boaz Salossa. Kita bisa melihat haluan nasionalisme yang dianut lewat garis keturunannya. Pemain yang kerap disapa dengan sebutan Bochi ini merupakan anak dari bekas gubernur Papua, yakni JP Salossa.
            Sang ayah dikenal sebagai salah satu tokoh yang berhaluan nasionalis Papua. Ia termasuk dalam dalam tim 100 yang menghadap mantan Presiden BJ Habibie meminta Papua merdeka. Sepak terjangnya dimonitori intelijen dan sempat diberitakan mendukung Organisasi Papua Merdeka (OPM).
            Tak heran, Boaz lebih mementingkan Persipura ketimbang panggilan negara. Layaknya kegagalan para elit untuk meyakinkan Papua sebagai bagian dari NKRI, PSSI pun gagal merebut hati para pemain Papua. Malah, Boaz sempat sakit hati lantaran biaya pengobatan cederanya yang didapat saat membela timnas justru ditanggung Persipura.      
            Pemain Papua juga kerap dimarjinalkan saat bergabung dengan tim nasional. Ketiadaan zona nyaman bagi pemain Papua pernah diungkapkan Boaz Salossa saat absen di uji coba kontra Palestina Agustus lalu. “Ya, memang ada ketidaknyamanan, tapi itu sangat sedikit. Masih ada jarak antara pemain Papua dan luar Papua,” ujarnya.
            Sungguh ironis menilik kata-kata yang diucapkan Boaz tersebut. Seorang pemain yang cukup punya pengaruh dalam permainan timnas justru jadi kaum marjinal di luar lapangan. Dalam konteks faktual, darah Papua memang kerap mendapat stereotip negatif. Namun, rasisme warna kulit tak seharusnya menguak saat para pemain membela panji tim nasional.
            Belakangan ini, konflik di Papua terus bergejolak. Kejadian-kejadian di Papua jangan dilihat sebagai sebuah letupan sporadis atau asap yang tidak mungkin membakar belantara rimba bumi Papua. Letupan dan asap itu bak sebuah penyakit epidemi yang kalau sudah menyebar, sulit diobati.
            Letupan dan asap itu bisa menjadi awal dari sejarah baru bumi Papua sekaligus lahirnya tim nasional Papua. Sudah sepantasnya pemerintah mengambil tindakan konkret.
            Bukan tak mungkin label “senjata dari sebuah bangsa tanpa negara” melekat pada Persipura. Kita tentu miris jika melihat para pemain Papua membentangkan bendera Bintang Kejora saat Timnas Indonesia meraih prestasi Internasional. Seolah, mereka ingin mengkampanyekan Papua Merdeka lewat medium sepak bola.
            Bila sejarah Timor Leste berulang pada Papua, sepak bola adalah salah satu korban. Kerugian terbesar tentu dialami tim nasional. Pasalnya, Papua punya kontribusi besar terhadap sepak bola tanah air. Pemain-pemain berbakat kerap lahir dari sana , sebut saja Rully Nere, Timo Kapisa, dan Aples Tecuari.
            Sekali lagi, penulis tidak bermaksud memojokkan pihak-pihak dalam konflik yang ada di Papua. Niatan penulis hanya memetakan imbas masalah tersebut melalui kacamata sepak bola, bukan politik. Tabik.


*Tulisan ini juga terdapat pada rubrik Oposan (Opini Ole Santun) Tabloid Bola, Edisi 2.273, Tanggal 14-16 November 2011

1 comment: