Friday, January 8, 2010

Jurang Pemisah yang Fiktif

“Where there is love there is life”
~Mahatma Gandhi~

Mungkin kalimat inilah yang membuat saya masih bertahan akan keputusan hidup yang sedang saya jalani. Hampir lima tahun saya mencoba berdiri tegak dengan perseteruan antara dua hal yang sangat kompleks, yaitu cinta dan agama. Mungkin banyak orang yang tidak setuju dengan cara saya, termasuk orang-orang terdekat sekalipun mereka tidak pernah menyampaikannya secara eksplisit.

Kebanyakan orang yang berada di posisi seperti saya mungkin akan mencoba realistis (versi mereka) dengan menyerah pada keadaan dan menjadikan agama sebagai pihak pemenang.
Guna menghindari kebencian dilingkungan sekitarnya, tidak ada salahnya kita menikmati saja datangnya cinta, dengan meninggalkan hasrat untuk memilikinya.
“Apa salahnya, kalau kita membiarkan cinta terus tumbuh dan bersemi dalam hati kita, yang mungkin tak perlu diungkapkannya. Supaya cinta yang tumbuh dan bersemi bisa menumbuhkan semangat hidup dalam kehidupannya. Dan membiarkan mengalir apa adanya, sedemikian sehingga aliran cinta bisa bernuara ke tempat yang lebih mulia untuk di milkinya. Sebagaimana eksistensi cinta yang mengharuskan adanya kedamaian dan dukungan kepada siapapun yang melihatnya. Sehingga kisah cinta yang lebih mulia mendapatkan jalan yang lebih menyejukkan bagi kedua insan yang ingin melanjutkan kisah cinta mereka dengan lebih sempurna dan menjadi kokoh bangunannya.” (http://duhgusti.com/cinta-beda-agama.htm)
Namun, saya tidak memandang cara ini realistis karena konflik antara cinta dan agama masih ada mediasinya.
Agama, menurut perspektif saya adalah sebuah cara. Cara yang dipilih seseorang untuk mencapai tujuan yang sama. Semua agama merepresentasikan banyak jalan menuju ke satu realitas tunggal (Tuhan) yang membawa kebenaran dan keselamatan. Realitas tunggal itu adalah realitas yang sama di mana semua agama sedang mencari-nya. Pada dasarnya, setiap agama memiliki kesetaraan. Tidak ada yang lebih baik dan tidak ada yang lebih buruk apabila dikomparasikan. Tidak ada yang mengajarkan keburukan karena keburukan diklasifikasikan sebagai dosa. Itu menurut pandangan saya sekalipun semua agama tidak memiliki hal-hal esensial yang sama (seperti yang dikatakan Raimundo Panikkar, Doktor dalam bidang sains, falsafah dan teologi).
Berdasarkan perspektif humanisme, sebenarnya sama sekali tidak ada yang buruk dengan persoalan “cinta beda agama”. Jika kita semua percaya bahwa tiap agama bertujuan positif bagi kehidupan manusia, maka “perbedaan merk” tentulah bukan penghalang untuk menjalin hubungan dengan lawan jenis.
Saya pun keberatan alasan “menendang” perbedaan tersebut hanya demi melakukan praktik keagamaan bersama, kesamaan adat/budaya yang terkait agama, dan perayaan hari besar dalam keluarganya nanti. Alhasil, saya tidak memilih pragmatisme dan memandang perbedaan sebagai sesuatu yang positif. Menurut saya, perbedaan yang ada adalah sebuah proses pembelajaran di mana kita mencoba mengenal agama lain dengan baik, yang dalam hal ini melalui sebuah hubungan.
Apabila ada orang yang menyatakan sikap kontra terhadap hubungan beda agama, saya tidak melihat ada kearifan dalam pandangan tersebut. Karena pada hakikatnya tidak ada relevansi antara perbedaan iman dengan keharmonisan hubungan. Jurang pemisah yang dibilang kebanyakan orang hanyalah fiktif.
Itulah mengapa saya masih berdiri tegak mempertahankan keputusan saya selama hampir 5 (lima) tahun. Hidup adalah pilihan. Dan inilah pilihan yang sedang saya jalani.

Anju Christian
~Menjelang 26 Januari 2010~

1 comment:

  1. Two thumbs up for this article..
    Suka bgt cara lo berpikir ttg fenomena ini...
    Secara gw jg mengalami hal yg sm ky lo.
    Kyna skrg gw yg plu bljr bnyk&mendapat petuah dr lo, brotha :)
    Makasih pencerahannya...

    ReplyDelete