Thursday, March 4, 2010

Sepakbola adalah Solusi

Pertanyaan yang selalu terngiang dalam pikiran saya, “Apakah yang bisa di banggakan dari Indonesia?” Sudah menjadi rahasia umum kalau kita memiliki kekayaan berlimpah. Sumber Daya Alam kita pun melimpah. Namun, tidak ada pengelolaan yang baik terhadap kekayaan alam kita. Bagaimana bisa harga BBM naik-turun (turunnya juga baru sekali) di negara yang punya banyak kilang minyak? Kenapa Indonesia biisa impor beras sedangkan sawah tersebar di negara ini? Kalo dipikir-pikir, bagaimana bisa kekayaan alam kita di konversi menjadi keutungan berlimpah apabila diberikan dengan mudah ke negara lain, seperti yang di Tembagapura sana. Kita kaya akan budaya?
Memang benar. Namun, satu-persatu di klaim negara tetangga karena kita pun tak bisa menjaganya. Ekonomi kita? Malu saya dengan hutang negara kita yang mencapai 65,7 miliar USD. Politik pemerintahnya saja gali lubang tutup lubang, bayar hutang dengan hutang pula.

Lalu apa yang bisa saya banggakan atau minimal menutup segala cacat di atas? Mungkin jawabannya hanya satu, sepakbola. Menurut sejarahwan olahraga Allen Guttmann dalam From Ritual to Record, globalisasi sepakbola terbentuk lewat perkembangbiakan interpendensi berabad-abad di mana motif terkuatnya adalah hasrat memperbaiki nasib.

Sepakbola adalah magnet. Kehancuran karena perang pun setelah terlupakan jka melihat euforia Irak meraih juara Asia. Setelah malu dengan calciopoli, masyarakat Italia kembali menegakkan kepalanya setelah negaranya merebut trofi World Cup di Jerman. Di Uganda, seorang akan lolos dari pembantaian tentara Idi Amin jika ia terbukti pemain bola. Di Brasil, mimpi buruk sebuah keluarga adalah tak punya anak lelaki yang tidak bisa menendang bola. Di Irak, sekelompok teroris melepas sanderanya setelah melihat Fransesceo Totti membuka kausnya. Terkadang, sepakbola adalah solusi terakhir.

Memang sepakbola negara kita jalan di tempat karena dicampuri oleh berbagai macam kepentingan. PSSI kita pun bisa dibilang masih korup. Klub-klub domestik seolah menjadi lumpuh akibat hilangya subsidi APBD. Fanatisme suporter yang harusnya membakar semangat pemain dengan dukungannya malah membakar emosi mereka sendiri dengan wujud anarkisme. Sepp Blater pun tetap menyebut Irak merebut piala Asia di Malaysia. Sudah jelas ia duduk di bangku VIP Stadion Bung Karno.

Tapi semua kecacatan negara kita akan sirna atau minimal luput sejenak dengan mewujudkan mimpi seluruh penduduk Indonesia untuk menonton langsung Piala Dunia tanpa harus mengurus visa. Dengan kata lain, wujudkan mimpi menjadi tuan rumah piala dunia. Seperti diketahui, ajang Piala Dunia punya peranan besar bagi citra negara penyelenggara dimana efeknya bisa dirasakan hingga beberapa dekade kemudian.

Jika Piala Dunia 2002 yang berlangsung di Jepang dan Korea Selatan di tonton tak kurang dari 28 miliar orang, maka Piala Dunia Jerman 2006 yang berlangsung sebulan penuh ini ditaksir diikuti secara khidmat oleh 32 miliar pasang mata. Lantas, siapa yang masih bilang Indonesia adalah bagian dari Bali apabila kita menyelenggarakan perhelatan tersebut? Pemerintah tidak perlu lelah menahan gempuran gempuran klaim kebudayaan dari tetangga Melayu kita dengan program-program kebudayaan. Cukup tampilkan kesenian daerah kita di pembukaan Piala Dunia, sekitar 28-32 miliar orang sudah tahu kalau kita punya tetangga pencuri.

Panitia penyelenggara Piala Dunia di Jerman, Juni-Juli lalu mengumumkan penerimaan keuntungan bersih sebesar 56.5 juta euro. Pada Piala Dunia 2002 di Jepang dan Korsel keuntungan yang jauh lebih besar, diperkirakan mencapai angka 198 juta euro. Dengan dana sebesar itu (asal jangan dikorupsi aja), neraca keuangan pun menjadi segar sekalipun belum bisa melunasi hutang (65,7 miliar USD).
Masalahnya, memang persiapan harus dilaksanakan secara matang. Delapan stadion harus disiapkan yang bisa menampung 40 ribu penonton, serta stadion cadangan. Satu stadion wajib berkapasitas minimal 80 penonton untuk pembukaan dan final. Ada beberapa stadion yang memiliki kapasitas itu yaitu Gelora Bung Karno, Jaka Baring, Jalak Harupat dan Palaran. Gelora pun sudah memenuhi syarat untuk pertandingan pembuka dan penutu dengan kapasitas 80.000 orang.

Infrastruktur stadion masih jadi masalah. Stadion yang punya video layar lebar saja baru stadion Gelora Bung Karno di Jakarta dan Stadion Palaran di Samarinda. Stadion Jaka Baring di Palembang sepertinya papan skor elektroniknya tidak bisa dibuat menampilkan gambar video layar lebar. Sedangkan Stadion Si Jalak Harupat di Bandung, papan skor elektroniknya masih primitif seperti papan skor elektronik tahun 1970an!! Padahal video layar lebar hanya sebagian saja dari persyaratan atau standard FIFA agar dapat menjadi stadion penyelenggara piala dunia. Hal-hal lain seperti tempat duduk, ruang ganti dan tempat penjualan tiket juga harus memenuhi syarat-syarat tertentu agar dapat memenuhi standard FIFA. Semoga PSSI tidak sedang tidur pulas lalu bermimpi terlalu tinggi saat melamar ke FIFA.

Kita butuh modal, dalam hal ini uang. Kalau para elit di negara kita tidak ongkang-ongkang kaki dengan uang negara, mungkin bisa saja. Aktivitas ekonomi bawah tanah atau underground economy telah menghilangkan pendapatan negara dari sektor pajak sekitar Rp 263 triliun per tahun. Angka yang sangat membantu untuk pembangunan demi mimpi tuan rumah Piala Dunia.

Pertanyaan terakhir : Tuan rumah Piala Dunia, mimpi atau ambisi negara kita?

Referensi: Buku Drama itu Bernama Sepakbola karya Arief Natakusumah, Detik.com, Goal.com, Kompas.

No comments:

Post a Comment