Wednesday, April 14, 2010

Sepak Bola Tergusur ke Jalan

Sebuah tembang berjudul “Mereka ada di jalan” yang dibawakan seorang penyanyi kawakan, Iwan Fals, menunjukkan realita dewasa ini. Pemandangan dalam lagu ini lazim kita lihat di perkotaan. Tanah lapang telah menjelma menjadi perumahan, pertokoan, bahkan gedung pencakar langit.
Jangan harap anda dapat melihat tanah merah dihiasi sepasang gawang bambu di kawasan ibu kota sekarang ini। Mungkin mata anda dapat menangkap kawasan terbuka untuk bermain bola, tapi saya yakin beberapa bulan ke depan traktor, truk pasir, dan para kuli bangunan siap menyulapnya menjadi bangunan kokoh.

Pukul tiga sore hari dijalan yang belum jadi
Aku melihat anak-anak kecil telanjang dada
Telanjang kaki asyik mengejar bola
Kuhampiri kudekati lalu duduk ditanah
Yang lebih tinggi
Agar lebih jelas lihat dan rasakan
Semangat mereka keringat mereka
Dalam memenangkan permainan…

Alhasil, para bocah yang digambarkan lirik lagu iitu pun tergusur ke jalan. Bahkan, kuburan, seperti yang digambarkan di film “Garuda di Dadaku”, turut dimanfaatkan demi sebuah hobby, sepakbola. Lebih miris lagi, gang-gang perumahan pun berubah sekejap mejadi lapangan mini dengan sandal atau puing batu sebagai gawangnya.

…Tiang gawang puing-puing
Sisa bangunan yang tergusur
Tanah lapang hanya tinggal cerita
Yang nampak mata hanya para pembual saja
Anak kota tak mampu beli sepatu
Anak kota tak punya tanah lapang

Dua pekan lalu diadakan Kongres Sepak Bola Nasional (KSN) di Malang. Lupakan sejenak bagaimana 7 butir hasil KSN yang dianggap beberapa kalangan antiklimaks. Alihkan perhatian dari PSSI yang dituntut menjalankan rekomendasi KSN tersebut.
KSN, dalam dalam butir kedua, merekomendasikan pembangunan dan peningkatan infrastruktur olahraga khususnya sepakbola. Coba hilangkan pikiran yang mengidentifikasikan peningkatan infrastruktur olahraga dengan pembangunan stadion megah dan training center. Politik mercusuar dengan stadion kapasitas puluhan ribu demi tercapainya standar internasional pun belum tentu hilangkan kesengsaraan mereka.
Lupakanlah pembinaan pemain usia muda yang digembar-gemborkan demi terwujudnya prestasi sepak bola nasional. Pembinaan pemain usia muda seperti SSB pun belum tentu dapat menjaring bakat mereka. Sudah bukan rahasia bila SSB pun turut memungut bayaran dari pesertanya. Terlebih, SSB Arsenal yang menunjukkan tujuh digit angka di lobby pendaftarannya. Bila mereka tidak bisa menjadikan olahraga ini sebagai jalan hidup mereka, biarkan mereka menjadikannya hanya sekedar hobby.
Apabila kita melihat kondisi anak-anak kecil dalam lagu ini, sulit bagi mereka untuk merengek dan memaksa orang tuanya merogoh kocek demi bermain di lapangan rumput dan gawang besi.

Sepak bola menjadi barang yang mahal
Milik mereka yang punya uang saja
Dan sementara kita disini
Di jalan ini…

Jangan berdalih anak-anak zaman sekarang sudah beralih hobby kepada sepak bola dalam ruangan alias futsal. Mungkin itu hanya olahraga “pelarian”. Hanya wujud kecintaan mereka dalam menendang bola dan kebingungan mencari tanah lapang diantara sesak bangunan.
Ordo kapitalis pun masuk dengan bangunan kokoh dan lapangan kecil di dalamnya. Lantas, bagaimana nasib anak-anak tak berduit dalam lagu ini? Sisihkan ribuan mereka saja mereka berpikir ulang, apalagi uang puluhan ribu hingga ratusan ribu. Mereka tidak butuh lapangan rumput nan megah dan indah untuk mengasah kemampuan mereka. Cukup dengan lapangan tanah merah dan sepasang gawang bambu. Namun, jangan rampas kenikmatan mereka dengan barisan manusia berhelm kuning kiriman para kontraktor. Kaki mereka tidak butuh alas bermerk Adidas, Nike, atau Umbro. Namun, jangan biarkan “ranjau” jalanan melukai kaki mereka kala bermain.

…Bola kaki dari plastik
Ditendang mampir ke langit
Pecahlah sudah kaca jendela hati
Sebab terkena bola tentu bukan salah mereka…

Jangan salahkan karena bocah miskin ini tergila-gila pada olahraga ini. Ini bukan olahraga kaum kapitalis saja. “Football for all, all for football”, kata presiden FIFA, Sepp Blater.

No comments:

Post a Comment