Tuesday, February 8, 2011

Andai Politik Tak Kenal Sepak Bola

Permainan ini tak kenal golongan dan kelas. Sekalipun para penonton di Gelora Bung Karno dipisahkan karena nominal yang terukir di lembaran tiket, tujuan mereka tetap untuk tim nasional. Sepak bola menjadi alat nasionalisme ditengah derasnya arus globalisasi. Beda hal dengan sepak bola, politik menjadi representasi dan perjuangan kepentingan golongan.

Olahraga ini mengagungkan sportivitas dan fair play. Tidak ada kawan abadi, tidak ada lawan abadi; yang ada hanyalah kepentingan abadi. Jargon tersebut jadi rumus populer dalam dunia politik,terutama politik yang haus kekuasaan. Alhasil, segala cara dihalalkan demi kepentingan tersebut.
Politik itu ibarat pisau dapur, bisa digunakan untuk kebaikan (memasak) atau kejahatan (membunuh orang). Begitu juga sepak bola kala telah dicampur bersama politik.
Kala era perjuangan sebelum merdeka, sepak bola dan politik berkaloborasi atas nama merah putih. PSSI pun terbentuk untuk meruntuhkan arogansi dan eksklusivitas NIVB (Nederlandsch Indische Voetbal Bond), federasi bentukan kaum kolonial.
Sepak bola nasional dewasa ini menjadi isu yang seksi untuk diperbincangkan. Isu tersebut jadi komoditas politik baru. Tak heran, turut berkomentar dalam isu sepak bola bisa jadi mendongkrak citra para politisi. Para politisi pun memilih berkecimpung dalam dunia sepak bola guna mengeruk dukungan.

Panigoro vs Bakrie
Bukan rahasia lagi, bursa calon ketua PSSI maret nanti diisi tiga nama dari dua kubu yang berseteru. Nurdin Halid dan Nirwan Bakrie berada di bawah lindungan “pohon beringin”. Bukan rahasia lagi, kalau selama ini sepak terjang mereka dalam sepak bola tanah air disokong oleh limpahan dana keluarga Bakrie. Praktis, timnas pun dengan mudah digiring ke rumah keluarga Bakrie jelang partai Final Piala AFF.
Arifin Panigoro sudah secara tersurat mengemukakan dukungannya kepada satu calon sisa, yaitu George Toisutta. Keduanya menginginkan peleburan ISL dan LPI, kompetisi yang digagas Arifin.
Kalau dicermati, bursa persaingan ketiga nama tersebut merupakan ajang perseteruan dua kubu, Bakrie vs Panigoro. Arifin Panigoro pemilik kerajaan bisnis Grup Medco dan Aburizal Bakrie pemilik kerajaan bisnis grup Bakrie. November tahun lalu, Arifin gagal menjual salah satu anak bisnisnya ke Pertamina karena jegalan Golkar (baca: Ical) melalui orang-orangnya di Senayan.
Arifin dan George Toisutta pun dekat dengan keluarga Cikeas. Arifin dalam Gerakan Reformasi Sepak Bola Nasional Indonesia (GRSNI), didukung Menpora Andi Mallarangeng, menerbitkan Buku Putih Reformasi Sepak Bola Indonesia. Kala LPI terbentur izin penyelenggaraan, Cikeas datang dalam wujud Andy Mallarangeng. Ia menurunkan izin melalui BOPI (Badan Olahraga Profesional Indonesia). George Toisutta pun kabarnya sudah disiapkan SBY untuk mengisi pos Ketua Umum PSSI apabila Nurdin berhasil dilengserkan di Kongres Sepakbola Nasional Maret tahun lalu.
Sebagian orang tahu, Keluarga Arifin dan Keluarga Bakrie sudah saling meradang sejak adu argumen menyoal tanggung jawab dalam kasus luapan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. PT Medco E&P Brantas anak perusahaan dari PT MedcoEnergi, dulu memang pernah terlibat eksplorasi dan pengeboran Lapindo.
Sejak itu hubungan dua keluarga pengusaha itu, dikabarkan terus memburuk. Apalagi hingga sekarang, Grup Bakrie yang harus menanggung sendiri semua risiko akibat luapan lumpur Lapindo itu.
Perseteruan tersebut pun mereka seret dalam urusan sepak bola. Usaha kubu Bakrie melenggangkan Nurdin Halid di kursi Ketua Umum PSSI dapat jegalan dari saingan lamanya di Jenggala, yaitu keluarga Panigoro. Sebelumnya, Arifin Panigoro sudah menggagas LPI (Liga Primer Indonesia) guna “meninju” ISL (Indonesian Super League). Karakter dan sosok George Toisutta bisa jadi jegalan serius dari ambisi keluarga Bakrie. Terlebih, banyak pihak sudah muak dengan kepemimpinan “suka-suka” ala Nurdin Halid.
Secara tidak sadar, bilik suara di Pulau Bintan Maret nanti sudah jadi ajang persaingan kedua kubu. Saya tak mau berspekulasi apa motifnya. Satu hal yang pasti ada yang mereka incar pasca kemenangan salah satunya di Pulau Bintan Maret nanti.
Pastinya keindahan sepak bola itu sendiri telah dicederai oleh ambisi keduanya. Kala politik masuk ke dalam sepak bola, kemenangan menjelma jadi prioritas. Seolah para politisi lupa bahwa kemenangan bukanlah satu-satunya tujuan dari permainan sepak bola. “Keindahan akan selalu dikenang, bahkan melebihi kemenangan”, ujar Johan Cruyff tentang rasionalisasi kekalahan.

*Tulisan ini juga terdapat pada rubrik Oposan (Opini Ole Santun) Tabloid Bola, Edisi 2.156, Tanggal 10-11 Februari 2011

No comments:

Post a Comment