Tuesday, December 28, 2010

Bukan Saatnya Cari Kambing Hitam

“Sisi negatif sepak bola adalah sisi negatif masyarakatnya. Orang per orang membawa masuk pengaruh negatifnya ke dalam masyarakat melalui sepak bola", demikian ujar Jose Mourinho. Ungkapan pria yang biasa disapa Mourinho seolah terbukti jelang berakhirnya Piala AFF 2010 ini. Kemenangan Malaysia yang diwarnai gangguan sinar laser telah di cap aksi tak sportif suporter sepak bola Malaysia. Berkaca pada kata-kata Mourinho tersebut, kemunculan sinar laser di Bukit Jalil tak bisa digeneralisir sebagai representasi supoerter Malaysia. Toh, tak semua pendukung Malaysia membawa sinar laser.
Sungguh tak arif apabila insan sepak bola tanah air menyalahkan lawan atas kekalahan telak di Bukit Jalil. Sebetulnya, terlalu banyak faktor non teknis yang menyebabkan kekalahan ini. Timnas Indonesia sudah kalah tatkala hampir seluruh komponen merasa telah “juara” sebelum turnamen berakhir. Memang hal tersebut tak terlontar secara tersurat. Namun, perilaku media, PSSI, dan para politikus menunjukkan seolah timnas telah juara.
Rekor sempurna sebelum final membuat masyarakat Indonesia merasa di atas angin. Timnas jadi buah bibir. Antrian tiket melonjak. Siaran langsung bernuansa timnas pun mendapatkan rating tinggi. Media massa pun cenderung oportunis menyikapinya. Ulasan menyeluruh hingga semua aspek sepak bola mulai dari strategi tim nasional hingga sisi pribadi pemain.
Para pejabat mendadak peduli pada sepak bola. Presiden SBY yang sebelumnya plin-plan bicara sepak bola tiba-tiba antusias. Dua laga kontra Filipina di Senayan pun tak di lewatkan sang presiden. Ia juga sempat menyambangi tim nasional saat latihan. 
Timnas dieksploitasi secara berlebihan. Agenda mereka terlampau padat dengan berbagai aktivitas di luar lapangan. Wawancara tiap hari di stasiun televisi, jamuan makan siang di rumah Aburizal Bakrie, dan istighosah jelang laga final pertama menambah padat agenda tim. Bahkan saat terbang melalui pesawat charter milik Bakrie, hampir semua pemain secara bergilir diwawancarai televisi. Alfred Riedl pun mengakui  semuanya tidak perlu. 
"Tidak hanya media, tapi juga publik dan federasi [PSSI] memberikan agenda yang tidak sepatutnya terjadi. Semuanya tidak perlu, karena saya lebih baik mempersiapkan tim, daripada melihat para pemain diwawancarai, difoto, terlalu berlebihan. Terlalu banyak hyper," pungkas Riedl.
Berlebihan memang. Pertanyaannya, kemana mereka kala timnas sedang mengalami periode suram? Apakah wajah mereka muncul tatkala seorang suporter frustrasi dan masuk ke lapangan pada laga lawan Oman di Penyisihan Piala Asia? Para politikus dan media datang bak pahlawan kesiangan. Layaknya petani yang memamen padi di sawah tetangga, mereka mencoba mengklaim prestasi timnas. Paradoks, mereka nihil kontribusi dalam prosesnya.
Penggunaan sepak bola untuk kampanye politikus memang bukan barang baru. Perdana Menteri Italia pun melakukan hal serupa dengan kaloborasi partai Forza Italia dan klub AC Milan. Sepak bola memang bahasa universal. Tapi untuk saat ini, timnas lebih butuh ketenangan guna konsentrasi penuh ketimbang eksploitasi. 
Kekalahan tersebut memberi pelajaran berharga untuk sepak bola tanah air. Pasca pukulan telak di Bukit Jalil, ekspos media cenderung adem ayem. Timnas mendadak minim kunjungan pejabat. Euforia pun sekejap sirna.
Atmosfer demikian sebetulnya bagus untuk timnas jelang leg kedua. Jelas, mereka membutuhkan konsentrasi penuh untuk membalikkan keadaan. Sangatlah penting untuk tetap membumi, terutama jelang laga pamungkas di Senayan.
Mari berharap insan sepak bola tanah air tidak amnesia terhadap memori 2004 silam. Kekalahan 1-2 di Senayan membuat laga kedua di Kuala Lumpur tampak berat. Namun, Kurniawan Dwi Yulianto dkk membayar lunas. Bola menggetarkan gawang Malaysia sebanyak empat kali. Gawang Hendro Kartiko pun hanya kemasukan sekali. 
“Sesuatu yang pasti di dunia ini adalah ketidakpastian”, ujar Albert Einstein saat bicara relativitas. Idiom bola itu bundar tetap berlaku, sebab sesungguhnya tidak ada kalkulasi absolut dalam kamus sepak bola. Tak ada yang mengira Malaysia bakal menang telak di Bukit Jalil. Begitu juga laga final leg kedua di Gelora Bung Karno. Tak mustahil gawang Malaysia dibobol hingga kali keempat. Tiada kepastian juara sebelum wasit meniup peluit panjang. 
Dan selama itu juga, para pendukung Indonesia wajib mengerahkan seluruh dukungan kepada pasukan Garuda. Kita tak perlu mencari kambing hitam dari kubu lawan. Tak perlu sinar laser, lidah pun sudah cukup untuk menjadi senjata paling berbahaya. Kita pantas optimis. Lautan manusia di Stadion Utama Gelora Bung Karno telah buahkan rekor sempurna untuk Indonesia sepanjang Piala AFF 2010 ini. Lupakan cela di Bukit Jalil demi puaskan dahaga penantian 14 tahun.

Tulisan ini dibuat jelang partai final leg kedua Piala AFF 2010 Indonesia vs Malaysia. Pada partai pertama di Stadion Bukit Jalil, Indonesia kalah 3-0.

No comments:

Post a Comment