Thursday, July 1, 2010

Tidak Ada Tempat untuk Kesempurnaan

Modernisasi sepak bola telah membuat menggeser orientasi dari pelaku sepak bola itu sendiri. Identifikasi politik, ekonomi, sosial, budaya, bahkan agama telah melahirkan sebuah tuntutan, yaitu kesempurnaan. Nila setitik pun tak dapat ditolerir.
Lihat saja berapa jumlah wasit yang dipulangkan pasca membuat kesalahan dalam Piala Dunia kali ini. Roberto Rosetti dan Jorge Larrioda harus terlempar dari perhelatan empat tahunan ini karena sebuah kesalahan di babak 16 besar. Rosetti mengesahkan gol Tevez yang dalam posisi offside. Dan Jorge Larrioda menganulir gol Lampard yang sudah 1 yard melewati garis.
Dianulirnya gol Frank Lampard saat melawan Jerman pun telah memobilisasi massa guna menuntut penggunaan teknologi. Sebuah isu lama yang kembali terkuak. Penonton, pemain, hingga wartawan sekalipun turut berkampanye tentang penggunaan teknologi dalam sepak bola. Tujuannya pun tak ayal adalah sebuah kesempurnaan. Bahkan, perdana menteri Inggris turut mengusulkan pemakaian teknologi video dalam sepak bola saat konferensi G-20 di Kanada. Wajar saja, identifikasi negara sudah melekat dalam olahraga ini.
Sehebat apapun seorang wasit, mereka tetaplah manusia. Setajam apapun matanya, daya pandangnya bukannya tanpa batas. Setinggi apapun intelegensianya, konsentrasi wasit pun tidak mustahil buyar dalam mengamati sebuah momen. Selama 90 menit, sepasang mata manusia berpakaian kuning ini tidak hanya merekam belasan momen, tapi mungkin ribuan momen. Dan ada 22 pemain dalam lapangan pun bergerak sangat dinamis. Belum lagi, mereka bukan lagi sekedar aktor lapangan hijau. Aksi teatrikal kerap dilancarkan para aktor ini.
Pada hakikatnya, keputusan dalam sepak bola mutlak milik sang pengadil. Sekalipun dengan teknologi canggih, keputusan tersebut milih seorang yang memiliki keterbatasan.
Sepak bola mungkin tidak lagi universal dengan keberadaan teknologi. Coba bayangkan, ada berapa banyak liga amatir di benua miskin seperti Afrika. Apakah FIFA dapat menjamin pemakaian teknologi dapat melakukan secara menyeluruh?
Mungkin saja, pemain akan memaksa wasit untuk bolak-balik melihat video tayangan ulang. Bukan rahasia lagi bila setiap pemain akan berusaha mempengaruhi keputusan wasit. Tentu kita tak lupa aksi provokasi ronaldo terhadap wasit yang membuahkan kartu merah untuk Rooney. Bayangkan, berapa lama pertandingan terhenti karena teknologi tersebut? Alur bola yang diperagakan penganut sepak bola indah mungkin bisa terhenti beberapa menit hanya karena sebuah pelanggaran. Betapa tidak menariknya sepak bola seperti itu.
Penggunaan teknologi video pun tidak menjamin lahirnya sebuah solusi. Mungkin, daya tarik sepak bola akan tereduksi dengan teknologi itu sendiri. Saya pun teringat oleh ucapan Rajesh Kalra dalam tulisannya yang berjudul Technology will help, not hinder football's growth, “And before I forget, there would never have been the ‘hand of God' goal if technology had been used then”.
Para pengkritik pun seolah lupa bahwa sepak bola adalah olahraga manusia. Kontroversi dalam sepak bola adalah cerita tersendiri yang menimbulkan daya tarik. Bagai ajaran agama, setiap kesalahan dalam sepak bola adalah dosa.

No comments:

Post a Comment