Saturday, June 26, 2010

Buruk itu Relatif, Mutlak itu Sepak Bola

Sepak bola layaknya dua sisi uang logam. Negara miskin seperti Argentina dan Brasil mungkin harus berterima kasih pada sepak bola. Tanpa gol tangan tuhan Maradona, tendangan geledek Batistuta, atau kelihaian Lionel Messi menggiring bola, Argentina bukanlah sebuah kekuatan yang layak mendapat perhatian dunia. Brasil tanpa sebutan juara Piala Dunia lima kali pun tidak lebih dari sebuah negara miskin dengan predikat buta huruf tertinggi di Timur Laut.
Namun, tak selamanya sepak bola menampilkan sisi baiknya. Rakyat Brazil tak akan pernah lupa dua gol Uruguay ke gawang tim Samba pada final Piala Dunia 1950. Publik Brasil menyebut peristiwa itu dengan sebutan Maracanazo. Nelson Rodrigues, penulis terkenal Brazil menganalogikan kekalahan tersebut seperti bencana yang terjadi di Hiroshima.
Duo gol Uruguay sudah seperti bom atom yang dijatuhkan pasukan sekutu. Beberapa fans bunuh diri dan para pemain Brasil menjadi bulan-bulanan publik, salah satunya Moacir Barbosa. Sang penjaga gawang menjadi kambing hitam atas bencana tersebut. Sebelum meninggal tanpa uang sepeserpun pada tahun 2000, ia bahkan sempat mengatakan “berdasarkan hukum Brasil maksimum hukuman adalah tiga puluh tahun. Tetapi saya telah dihukum selama lima puluh tahun”.
Kisah tak jauh berbeda menimpa tim Azzuri di Piala Dunia 1966. Bermaterikan nama besar seperti Sandro Mazzola, Giacinto Facchetti, Gianni Rivera dan Giacomo Bulgarelli, Italia diunggulkan melewati penyisihan grup dengan mudah. Terlebih. Lawan mereka di laga pamungkas hanya ditempatkan bursa taruhan 1000/1.
Sepak bola menghukum mereka melalui sebuah tim berisikan pemain-pemain amatir. Sang juara dunia dua kali malah takluk oleh gol tentara berpangkat kopral, Pak Doo-Ik. Pak pun memastikan Italia harus pulang lebih awal. Setibanya di Roma, lemparan tomat dan telur busuk menjadi sambutan dari fans.
Buruk adalah relatif. Akan tetapi, sepak bola selalu mutlak. Brasil dan Italia boleh memiliki memori buruk tentang sepak bola. Namun, sepak bola tetap menjadi nomor satu di kedua negara tersebut. Kebanyakan orang telalu sulit mengorbankan sepak bola, kecuali dia berasal dari Amerika Serikat. Namun, siapapun dapat menjadi korban sepak bola.
Hal tersebut juga berlaku di Indonesia. Seburuk apapun kondisi persepakbolaan tanah air, olahraga ini tetap menjadi nomor satu. Sehebat-hebatnya prestasi bulu tangkis Indonesia, jumlah orang yang memukul dengan raket tidak pernah melampaui orang yang menyepak bola.
Biarpun PSSI menggunakan metode kartel mafia dan nihil prestasil, hanya Taufik Hidayat yang mengatakan “mari lupakan dan hentikan sepak bola untuk sementara”. Entah dalam rangka pencitraan atau bukan, SBY dan Andi Mallarangeng malah mendukung proyek “buang-buang uang” yang disebut Kongres Sepak Bola Nasional.
Centre National de la Recherce Scientifique di Prancis mengemukakan betapa besar pengaruh olahraga ini. Sepak bola menggambarkan apa yang seharusnya dilakukan sebuah tim, lembaga, organisasi, bahkan sebuah negara. Olahraga ini pun terlalu populer karena komunitas, kota atau negara sekalipun dapat mengidentifikasikan diri mereka dalam sebuah tim.
Untuk kali pertama, dua finalis Piala Dunia sebelumnya tersingkir di penyisihan grup. Prancis dan Italia terbenam di dasar klasemen grup masing. Identifikasi nasional pun memobilisasi publik kedua negara untuk mencaci-maki.
Tak heran tim nasional Prancis tampak hina. Mereka tiba di bandara Bourgett tanpa sambutan penggemar sepak bola tanah airnya. Media lokal pun seragam untuk tidak meliput. Pemain bergaji jutaan euro hanya duduk di kelas ekonomi.
Presiden Perancis Nicolas Sarkozy bahkan harus turun tangan untuk menyidang. Ia. Wajar saja, tim nasional Prancis sudah menjadi representasi negaranya. Penampilan prematur di penyisihan grup sudah mencoreng wajah bangsa.
“Pemerintah harus campur tangan. Reputasi Prancis dipertaruhkan dalam kasus ini. Kami memperhatikan dari amarah orang-orang Prancis dan menyerukan agar martabat dan tanggung jawab."
Publik Italia pun lantas mencari kambing hitam pasca kegagalan di Afsel. Lippi tak lepas dari kritik karena keukeuh meninggalkan pemain kreatif seperti Cassano, Totti, dan Balotelli. Minimnya sutradara lapangan dianggap sebagai faktor kegagalan. Mereka seolah mengubur memori tentang aksi heroik pasukan Azzurri saat menjadi juara dunia empat tahun silam.
Roberto Calderoli, menteri yang pendukung anti-imigran di Italia, pun ikut-ikutan. Ia menuding para pesepak bola imigran (merujuk pada Inter Milan) adalah biang keladi kegagalan Italia. Padahal tanpa trofi UCL yang diraih Inter, sepak bola Italia sudah disusul oleh Jerman dalam raihan koefisien.
Italia dan Prancis boleh berkabung pasca tereliminasi secara prematur. Akan tetapi, sinar binar Ferrari atau Valentino Rossi tetap tak melebihi Gianluigi Buffon. Rugbi di Prancis pun tetap saja meminjam stadion sepak bola seperti Stade de France.
Antonio Gramsci, seorang Marxis Italia, pernah berucap “sepak bola menuntut inisiatif, kompetisi dan konflik”. Kekecewaan dari publik menjadi sebuah hal yang relatif. Sepak bola mutlak jadi olahraga nomor satu..

No comments:

Post a Comment