Saturday, December 27, 2008

Wawancara dengan Nursanita Nasution

Pengaruh Kultur Sangat Besar!

UU No. 2 Tahun 2007 tentang Partai Politik dan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum memberikan dukungan untuk terlaksananya affirmative action dalam rangka meningkatkan peranan perempuan di bidang partai politik. Ditentukannya 30% pengurus partai politik di semua tingkatan harus diisi oleh perempuan dan 30% calon anggota legislatif juga diisi oleh perempuan dengan jaminan penempatan pada nomor urut kopiah atau dasi, cukup memberi peluang kepada peningkatan peranan perempuan secara kuantitatif. Tetapi hal tersebut belum menjamin calon anggota legislatif dari kalangan perempuan akan benar terpilih, karena partai politik berubah pikiran dalam penetapan calon terpilih d
ari berdasar nomor urut ke berdasar suara terbanyak. Artinya bila hal tersebut menjadi keputusan politik calon anggota legislatif dari kalangan kaum hawa harus lebih keras dalam mengumpulkan pemilih. Ketentuan UU tersebut diperlukan sebagai sarana perubahan sosio cultural menuju persamaan gender dalam kehidupan politik. Hukum sebagai sarana perubahan sosial diharapkan mampu mengubah pola peranan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat yang masih diwarnai oleh ciri-ciri suatu masyarakat tradisional paternalistik.
Namun, tradisi partai politik dalam hal merekrut anggota partai dinilai menjadi salah satu faktor penghambat keterwakilan perempuan sebanyak 30 persen dalam pencalonan anggota legislatif (caleg) pada Pemilu 2009. Parpol tidak memiliki tradisi yang baik dan kuat dalam merekrut perempuan sebagai kadernya. Banyak juga kalangan yang menilai Undang-Undang tersebut tidak efektif. Partai politik diniilai sudah tidak memiliki waktu untuk mempersiapkan kader perempuan setelah sibuk dengan masalah verifikasi.
Harapan bagi perempuan di politik mulai muncul setelah adanya UU yang mewajibkan keterwakilan perempuan dengan kuota 30 persen. Emansipasi wanita dalam legislatif seperti dilematis. Perempuan di tuntut memberikan peranan dalam politik, termasuk legislalif. Kuota 30 persen bagi wanita di DPR memberikan tekanan bagi kaum perempuan. Apabila kuota tidak terpenuhi, banyak yang mengatakan wanita didiskriminasi dalam politik. Namun, wanita harus memiliki kemampuan dan wawasan dalam politik. Jika wanita dipaksakan untuk jadi terjun dalam politik, ada kemungkinan mereka tidak produktif kedepannya.
Untuk menjawab masalah tersebut, Anju Christian, mahasiswa Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, mewawancarai Nursanita Nasution, SE, ME, Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera periode 2004-2009. Ia Selain tugasnya di Komisi, ibu tujuh anak ini juga menjalani rutinitas tugasnya di Badan Urusan Rumah Tangga DPR RI. Ia juga merupakan salah satu caleg DPR RI Pemilu 2009 daerah pemilihan DKI Jakarta 2 dengan nomor urut 3 dari PKS. Ia pun merupakan salah satu motor perempuan di PKS. Ia kerap memberikan suaranya untuk memperjuangkan kaum perempuan di politik, salah satunya melalui artikelnya yang berjudul “Keterwakilan Politik Perempuan di DPR Terancam”. Wawancara dilakukan di Ruang Paripurna Gedung Nusantara 2 DPR RI, Kamis (18/12).

Berikut petikan wawancaranya :

T: Sebelum beredar isu pemberdayaan perempuan perempuan di Indonesia, Wanita di Amerika menunjukkan peranan yang cukup signifikan di parlemen. Adakah hubungan antara keterwakilan perempuan di parlemen Amerika dengan isu pemberdayaan perempuan dalam politik Indonesia?
J: Mungkin secara tidak langsung ada. Indonesia sendiri dalam hal keterlibatan perempuan di banyak hal sudah memulainya sejak dahulu. Artinya, ini tidak menjadi hal yang tabu. Sejak 22 Desember 1928 yang terkait dengan Hari Ibu, perempuan-perempuan dari semua organisasi daerah bergabung untuk menyatakan bahwa perempuan Indonesia bangkit untuk melepaskan Indonesia dari penjajahan. Secara historis, kita sudah punya gerakan-gerakan yang memberdayakan kaum perempuan. Hal tersebut juga membedakan pemberdayaan perempuan di Indonesia dan di Amerika, dari sisi historis. Mungkin momen sekarang ini menciptakan hubungan tidak langsung tersebut. Demokrasi dewasa ini mulai merebak di dunia, termasuk Indonesia, dan adanya pilkada di Indonesia.

T: Peranan perempuan dalam politik Indonesia sejauh ini?
J: Menurut saya, belum cukup besar, namun bukan berarti tidak ada. Salah satu contoh nyatanya adalah keterwakilan perempuan di lembaga politik seperti DPR hanya sebelas persen. Tapi bukan berarti tidak ada karena di tidak hanya di legislatif, tapi juga di yudikatif dan eksekutif.

T: Harapan bagi perempuan di politik mulai muncul setelah adanya UU yang mewajibkan keterwakilan perempuan dengan kuota 30 persen. Pemberdayaan wanita dalam legislatif seperti dilematis. Perempuan di tuntut memberikan peranan dalam politik, termasuk legislalif. Kuota 30 persen bagi wanita di DPR memberikan tekanan bagi kaum perempuan. Apabila kuota tidak terpenuhi, banyak yang mengatakan wanita didiskriminasi dalam politik. Namun, wanita harus memiliki kemampuan dan wawasan dalam politik. Jika wanita dipaksakan untuk jadi terjun dalam politik, ada kemungkinan mereka tidak produktif kedepannya. Bagaimana pandangan Anda mengenai hal tersebut?
J: Saya kira tidak, mungkin kita harus akui juga pengaruh kultur yang di kita sangat besar yang mengatakan bahwa perempuan itu tidak di publik. Namun, mereka dituntut untuk dominan dalam rumah tangga seperti mengurus anak dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga lainnya. Saya melihat keberadaan Undang-Undang tersebut sebagai upaya percepatan atau afirmatif dan itu saya rasa perlu. Saya pun merasa sudah banyak perempuan Indonesia yang berkualitas sehingga pantas untuk terjun ke politik, termasuk terjun ke parlemen.

T :Anda mengatakan bahwa kualitas perempuan Indonesia sudah cukup baik untuk terjun ke politik. Namun, terdapat hambatan yang berupa pengaruh kultur. Apakah Anda melihat hambatan lainnya selain hambatan kultur?
J :Saya kira hambatan yang dominan adalah hambatan kultur. Hambatan selanjutnya adalah permpuan kurang memahami bahwa mereka dituntut untuk berperan aktif di publik dan politik. Selain itu keberanian perempuan untuk terjun ke politik juga masih sangat kurang.

T :Selain pengaruh kultur, hambatan tersebut merupakan hambatan internal yang berasal dari dalam perempuan sendiri. Namun, hambatan dari luar tentunya ada, seperti partai politik yang enggan menempatkan caleg perempuan di nomor urut satu. Bahkan, banyak yang mengatakan bahwa caleg perempuan cenderung mendapat nomor sepatu.
J: Ya, saya rasa itu juga merupakan hambatan yang berasal dari pengaruh kultur. Kultur tersebut turut mempengaruhi perilaku individu-individu di partai politik. Kita pun harus mengakui bahwa pemahaman dan praktik politik di negara ini belum sesuai dengan sebagaimana harusnya. Partai politik seharusnya juga berperan untuk menegakkan keadilan dan menyejahterahkan rakyat banyak. Saya belum melihat peran tersebut menonjol di partai politik kebanyakan. Mereka malah menganggap sebagai ajang untuk memperkaya dirinya masing-masing sehingga perebutan kekuasaan menjadi sangat dominan dalam persaingan antar partai politik di Indonesia. Gender yang dominan dalam persaingan tersebut adalah kaum laki-laki. Begitu perempuan ingin memberikan partisipasi, mereka menganggap ini adalah ajang persaingan dan rivalitas dari sisi pengambilan kekuasaan. Pemahaman tersebut adalah pemahaman yang salah.

T: Sulitnya perempuan duduk dalam legislatif juga dipengaruhi minimnya peranan wanita di organisasi masyarakat. Anda tadi juga mengatakan bahwa keberanian perempuan sendiri untuk terjun ke politik masih kurang. Apakah kurangnya keberanian perempuan untuk terjun ke politik juga di karenakan kurangnya keberanian perempuan untuk terjun ke ormas atau LSM terlebih dahulu sebagai modal untuk terjun ke politik?
J :Ya, saya sependapat dengan hal itu. Alasannya, perempuan sendiri dibesarkan dalam keluarga-keluarga yang juga dipengaruhi oleh kultur yang mengatakan bahwa perepuan tidak berperan banyak di publik. Dorongan untuk memberikan pemahaman bahwa perempuan memiliki tanggung jawab besar guna melakukan perubahan besar di masyarakatnya. Kebanyakan dari perempuan masih memikirkan dirinya sendiri, seperti hanya mengurusi suaminya dan anaknya. Saya pikir hal seperti itu sangat egois.

T :Apakah keegoisan yang Anda katakan tadi juga berasal dari tuntutan suami yang melarang mereka untuk terjun ke publik?
J :Saya melihat tuntutan dan larangan tersebut bukan hanya berasal dari suami mereka, tapi ada juga yang berasal dari keluarga mereka.

T: Dalam makalah Anda yang berjudul Mencari Format Ideal Perempuan Dalam Pembangunan Indonesia Masa Depan (Refleksi Hari Kartini), Anda menyampaikan bahwa perempuan sebagai pembuat keputusan politik dapat mencegah diskriminasi terhadap perempuan, serta merubah cara pandang dengan mengutamakan perdamaian dalam menyelesaikan masalah-masalah politik. Dengan mengutamakan perdamaian, apakah peranan perempuan dapat membantu penyelesaian masalah-masalah berupa konflik antar masyarakat di Indonesia?
J: Saya rasa bisa. Saya melihat perempuan lebih bisa berkomunikasi dengan sesama mereka dari semua golongan manapun bertitik tolak dari isu-isu perempuan. Perempuan lebih mudah berkomunikasi sesama mereka walaupun dari kelompok ataupun partai yang berbeda dibandingkan kaum laki-laki dalam masalah-masalah seperti anak-anak yang kurang gizi, bayi meninggal saat melahirkan, pendidikan anak, ketidakadilan atau kekerasan dalam rumah tangga, atau ketidakadilan di tempat bekerja. Hal tersebut dapat dijadikan peluang untuk menciptakan perdamaian melalui peranan perempuan.

T: Apakah angka 30 persen sudah cukup mewakili jumlah perempuan di Indonesia?
J: Untuk tahap awal saya kira sudah cukup. Bukti-bukti berkaitan dengan dengan hal tersebut juga ditunjukkan di negara-negara lain yang kecil. Salah satu contohnya adalah jumlah perempuan di legislatif Eropa Utara. Jumlah perempuan sebesar 30 persen disana dapat mengurangi korupsi. Kesejahteraan masyarakat juga dapat ditingkatkan melalui sektor kesehatan, pendidikan, dan sosial.

T: Tanggal 9 Desember kemarin adalah hari anti-korupsi internasional. Indonesia menjadi negara yang terpuruk karena korupsi. Adakah hal yang dapat dilakukan perempuan untuk meminimalisir korupsi?
J: Perempuan dapat memulainya dari yang terkecil, seperti dari keluarganya. Mereka dapat mendorong suami-suami mereka untuk tidak melakukan korupsi. Pada 2004, sya sempat membuat semacam demonstrasi di DPP PKS. Intinya saya menyampaikan himbauan kepada kaum perempuan agar mereka menutup pintu apabila suaminya pulang membawa uang hasil korupsi. Gerakan tersebut juga perlu dilakukan guna mencegah agar korupsi tidak merajalela. Mengenai tindakan meminimalisir korupsi, peranan wanita dapat meningkatkan pengawasan terhadap pelaksanaan APBN. Sehingga dapat meminimalisir tindakan korupsi yang berdampak pada kegagalan pasar, mendistorsi intensif, pajak arbiter, serta misalokasi anggaran.

T: Dalam UU No. 2 Tahun 2007 tentang Partai Politik dan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum, ditentukan 30% pengurus partai politik di semua tingkatan harus diisi oleh perempuan dan 30% calon anggota legislatif juga diisi oleh perempuan dengan jaminan penempatan pada nomor urut kopiah atau dasi dengan harapan memberi peluang kepada peningkatan peranan perempuan secara kuantitatif. Apakah UU tersebut hanya menuntut peningkatan peranan perempuan secara kuantitatif? Tidak perlukah peningkatan peranan perempuan secara kualitatif?
J: Saya kira peningkatan peranan perempuan harus dilakukan dengan kedua-duanya, secara kuantitatif dan kualitatif. Namun, kita harus mendorong terlebih dahulu agar kuantitas ini ditargetkan. Kita harus menargetkan terlebih dahulu kuantitas perempuan karena peluang perempuan untuk masuk ke politik masih lebih sulit dibanding laki-laki. Dunia politik kita masih didominasi oleh uang sehingga money politic disini tinggi. Dan disitu perempuan kebanyakan hampir pasti kalah.

T: Anda mengatakan politik di negara kita masih di dominasi oleh uang. Apakah karena hal tersebut juga menyebabkan perempuan kerap terhambat dengan dana kampanye dalam upayanya terjun ke politik?
J: Saya rasa ya.

T: Anda membidangi Keuangan, Perencanaan Pembangunan Nasional, Perbankan, Lembaga Keuangan bukan Bank di komisi XI. Bagaimana peranan perempuan di bidang-bidang tersebut?
J: Saya rasa masih sangat minim. Komisi IX menangani masalah ekonomi yang bersifar makro, artinya yang ditangani adalah kebijakan. Kebijakan berarti kekuasaan. Di sini masih didominasi oleh laki-laki. Namun, di sektor operasional peranan perempuan cukup berperan. Saya sebelumnya sempat di komisi VI. Saat itu, saya melihat sektor riil banyak dikuasai kaum perempuan.

T: Dalam DPR RI, ada juga Komisi VIII yang membidangi pemberdayaan perempuan. Apakah peranan komisi tersebut dalam mendongkrak peranan perempuan sudah cukup?
J: Menurut saya masih kurang dan harus ditingkatkan lagi.

T: Indikatornya?
J: Karena menurut saya, saat ini belum cukup untuk mengubah paradigma dari semua penguasa lahan pemerintah. Di yudikatif, perempuan juga belum banyak berperan. Salah satu contohnya tugas Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi adalah merangkum dan mempengaruhi semua lembaga dan departemen agar mereka mendorong peningkatan partisipasi perempuan. Saya melihat itu masih kurang.

T: Bagaimana pandangan Anda mengenai PKS Awards untuk memotivasi kaum perempuan?
J: Saya rasa setiap partai politik punya kewajiban itu. Setiap partai politik punya kewajiban untuk mendidik masyarakat agar mereka menyadari bahwa politik itu adalah bagian dari kehidupan mereka. Politik juga merupakan bidang yang tidak boleh ada diskriminasi. Tugas parpol untuk memberi sosialiasi dan pendidikan politik.

T: Bagaimana komentar Anda mengenai iklan PKS dimana terdapat Soeharto yang dikatakan sebagai guru bangsa?
J: Hal itu memang menjadi pro dan kontra. Saya rasa ada hal positif yang harus dipahami, setiap orang punya sisi baik di samping sisi buruknya. Tentu kita tidak maksudkan korupsi Soeharto menjadi contoh. Tapi dalam hal lain, ia punya kemampuan strategi dan kemampuan mempengaruhi orang lain. Kita bisa belajar dari situ.

No comments:

Post a Comment